Selasa, 17 Mei 2011


LELE SANGKURIANG
Ciri-ciri Morfologi
Menurut Anonimus (2005) secara umum morfologi ikan lele sangkuriang tidak memiliki banyak perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak dibudidayakan. Hal tersebut dikarenakan lele sangkuriang sendiri merupakan hasil silang dari induk lele dumbo. Tubuh ikan lele sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin, berlendir, dan tidak bersisik. Bentuk kepala menggepeng (depress), dengan mulut yang relatif lebar, mempunyai empat pasang sungut. Lele Sangkuriang memiliki tiga sirip tunggal, yakni sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur. Sementara itu, sirip yang yang berpasangan ada dua yakni sirip dada dan sirip perut. Pada sirip dada (pina thoracalis) dijumpai sepasang patil atau duri keras yang dapat digunakan untuk mempertahankan diri dan kadang-kadang dapat dipakai untuk berjalan dipermukaan tanah atau pematang. Pada bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat pernapasan tambahan (organ arborescent), bentuknya seperti batang pohon yang penuh dengan kapiler-kapiler darah.

Habitat
Lele sangkuriang dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya sangat jelek. Kualitas air yang baik untuk pertumbuhan yaitu kandungan O2 6 ppm, CO2 kurang dari 12 ppm, suhu (24 – 26) o C, pH (6 – 7), NH3 kurang dari 1 ppm dan daya tembus matahari ke dalam air maksimum 30 cm (Lukito, 2002).

Tingkah Laku
Ikan lele dikenal aktif pada malam hari (nokturnal). Pada siang hari, ikan lele lebih suka berdiam didalam lubang atau tempat yang tenang dan aliran air tidak terlalu deras. Ikan lele mempunyai kebiasaan mengaduk-aduk lumpur dasar untuk mencari binatang-binatang kecil (bentos) yang terletak di dasar perairan (Simanjutak, 1989 ).

TEKNIK PEMBENIHAN
Pemeliharaan Induk
Faktor penting dalam pembenihan ikan lele sangkuriang yaitu kualitas induk yang akan dipijahkan. Kualitas induk yang baik dapat dilihat dari postur tubuh yang proporsional, tidak ada cacat dan luka pada tubuh ikan, serta gerakan ikan yang lincah. Induk yang dipijahkan pada waktu melaksanakan kegiatan PKL berasal dari kolam pemeliharaan induk di Sub Unit Kolam Air Deras (SUKAD) Cisaat, BBPBAT Sukabumi.
Induk yang dipelihara berumur antara (1 – 2,5) tahun dengan bobot (0,75–2) kg dan kepadatan 5 ekor/m3. Induk jantan dan betina dipelihara secara terpisah hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam penyeleksian. Kolam yang digunakan berupa kolam beton terbuka berbentuk persegi panjang yang berukuran 10 m x 2 m x 1,5 m dan kolam beton yang dilengkapi dengan penutup berupa jaring kawat, kolam tersebut berukuran 5 m x 2 m x 1,5 m. Menurut Prihartono dkk (2000), dalam pembenihan ikan lele sangkuriang, induk merupakan sarana produksi paling penting. Oleh karena itu, agar hasil pembenihan memuaskan, induk yang digunakan harus unggul. Untuk mendapatkan induk yang unggul, perlu dilakukan pemeliharaan induk secara khusus. Selama pemeliharaan padat tebar induk perlu diperhatikan karena akan berpengaruh pada pertumbuhan dan tingkat stress ikan. Induk ikan lele sangkuriang dipelihara dalam kolam atau bak berukuran (3×4) m2 dengan padat tebar 5 kg/m2.
Pakan yang diberikan selama pemeliharaan adalah pakan apung komersil merk Hi-Pro-Vite 781 dengan kandungan protein 30%-33% yang bertujuan untuk mempercepat pematangan gonad. Pemberian pakan dilakukan dengan frekuensi 2 kali sehari yaitu pada pagi hari pukul 07.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB, sebanyak 3%-5% dari bobot total dengan kandungn gizi: Protein 33%, Lemak 5%, Serat 6%, Abu 8% dan Kadar air 13%. Upaya untuk memperoleh induk matang telur menurut Prihartono dkk (2000), adalah dengan memberikan pakan komersil yang memiliki kadar protein diatas 20%. Pakan yang diberikan sebanyak 4% dari total bobot tubuh ikan setiap hari pada pagi dan sore hari. Bila sudah matang gonad, induk dapat diseleksi.

Pemijahan
Umur induk betina lele sangkuriang siap dipijahkan berumur > 1 tahun, massa (0,7 – 1) kg dengan panjang standar (25 – 30) cm, sedangkan induk jantan antara lain yaitu berumur > 1 tahun, massa (0,5 – 0,75) kg, dengan panjang standar (30 – 35) cm. Induk betina yang sudah matang gonad, secara fisik ditandai dengan perut yang membesar dan lembek, tonjolan alat kelamin membulat dengan warna merah keungu-unguan dan tampak membesar, bila dilihat secara kasat mata warna telur terlihat hijau tua bening atau coklat kehijau-hijauan, tulang kepala agak meruncing, gerakannya lamban. Sedangkan induk jantan ditandai dengan warna tubuh yang lebih mencolok dari betina yaitu terlihat kemerah-merahan pada bagian sirip punggung (dorsal), dengan bentuk genital yang meruncing dan memanjang melebihi ujung sirip anal yang letaknya berdekatan dengan anus, tulang kepala lebih mendatar (pipih) dibanding induk betina, perut tetap ramping dan gerakannya yang lincah. Jika diurut secara perlahan pada bagian kelaminnya, akan mengeluarkan cairan putih susu yang kental, cairan itulah yang dinamakan sperma.
Menurut Suyanto (1999), lele sangkuriang mulai dapat dijadikan induk pada umur (8 – 9) bulan dengan massa minimal 500 gram. Telur akan menetas dalam tempo 24 jam setelah memijah dengan kemampuan memijah sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Menurut Prihartono, dkk (2000), tanda-tanda induk jantan yang telah siap memijah diantaranya alat kelamin tampak jelas (meruncing), perutnya tampak ramping, jika perut diurut akan keluar spermanya, tulang kepala agak mendatar dibanding dengan betinanya, jika warna dasar badannya hitam (gelap), warna itu menjadi lebih gelap lagi dari biasanya. Sedangkan untuk induk betina alat kelaminnya bentuknya bulat dan kemerahan, lubangnya agak membesar, tulang kepala agak cembung, gerakannya lamban, warna badannya lebih cerah dari biasanya.
Metode pemijahan yang digunakan di BBPBAT Sukabumi yaitu metode pemijahan secara buatan (Induced Breeding). Pemijahan buatan menggunakan induk jantan dan betina dengan perbandingan 1 : 3 (1 induk jantan, 3 induk betina). Pemijahan buatan dilakukan dengan penyuntikan hormon perangsang (ovaprim) yang bertujuan untuk mempercepat proses ovulasi pada induk betina. Dosis hormon ovaprim yang digunakan adalah 0,2 ml/kg induk ikan yang diencerkan dengan menambahkan larutan Sodium Chloride 0,9% untuk seluruh jumlah induk ikan. Metode pemijahan dengan cara induce breeding menurut Effendi (2004), bila menggunakan ovaprim dosisnya 0,3 ml/kg induk; streeping, induk jantan dan induk betina pada pemijahan ini harus dipisahkan. Setelah (10-12) jam dari penyuntikan, induk betina siap di-streeping.
Berdasarkan hasil penimbangan induk selama praktek, diperoleh data massa induk betina sebesar 13 kg yang berasal dari 12 ekor jumlah induk dengan massa telur sebesar 1 kg. Setelah data massa induk diperoleh, maka diketahui jumlah hormon ovaprim yang dibutuhkan yaitu sebanyak 2,6 ml. Untuk campuran homon ovaprim dan sodium chloride diperlukan dosis sebanyak 0,5 ml/ekor, maka jumlah campuran yang dapat diperoleh adalah 6 ml. Dari perhitungan sebelumnya, maka diketahui jumlah sodium chloride yang digunakan adalah 3,4 ml. Waktu antara penyuntikan dengan ovulasi yaitu (10 – 12) jam tergantung suhu inkubasi induk (suhu selama praktek + 230C). Penyuntikan dilakukan pada malam hari sekitar pukul 20.00 WIB sehingga proses pengeluaran telur (streeping) dapat dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 08.00 WIB hal ini bertujuan agar hasil streeping yang dihasilkan dapat maksimal, karena suhu air pada pagi hari relatif stabil sehingga tingkat stress yang ditimbulkan pada induk relatif kecil dan untuk mempermudah mengamati ovulasi. Penyuntikan dilakukan 1 kali secara intramuskular, yaitu penyuntikan pada bagian otot punggung induk lele sangkuriang.

Streeping dan Pembuahan
Pada selang waktu (10–12) jam setelah penyuntikan dilakukan pemeriksaan terhadap induk betina dan dinyatakan ovulasi. Setelah itu, segera dilakukan penyediaan cairan sperma. Penyediaan cairan sperma dilakukan dengan pengambilan kantong sperma dengan jalan pembenahan. Induk jantan dibedah dengan menggunakan gunting dari arah genital ke arah kepala, kemudian kantong sperma diambil dan dibersihkan dengan menggunakan kertas tissu. Sperma dikeluarkan dengan cara menggunting kantong sperma pada bagian sisinya, lalu diperas dan diencerkan dengan menggunakan larutan Sodium Chloride 0,9%. Perbandingan yang digunakan yaitu 250 ml Sodium Chloride 0,9% untuk sperma yang berasal dari 1 ekor induk jantan.
Setelah larutan sperma siap, dilakukan pengeluaran telur dengan cara pengurutan. Pada bagian kepala dipegang dengan menggunakan kain lap agar tidak licin, kemudian bagian perut diurut dari dada ke arah genital secara perlahan-lahan (Streeping). Telur yang keluar ditampung dalam wadah plastik yang bersih dan kering. Fekunditas telur yang dihasilkan induk lele sangkuriang setelah dilakukan sampling adalah 138 butir dalam 0,22 gram. Setelah dikonfersikan diketahui jumlah telur sebanyak 627.273 butir/kg telur atau sekitar 52.273 butir/ekor induk.
Sperma yang telah tersedia dicampurkan dengan telur dan diaduk menggunakan bulu ayam. Setelah teraduk merata tuangkan air secukupnya kemudian digoyang-goyangkan lagi secara perlahan. Pemberian air diperlukan untuk mengaktifkan sperma karena saat dalam larutan fisiologis sperma belum aktif, membuka mikrofil pada telur ikan, dan untuk membersihkan telur dari sisa-sisa sperma yang tidak aktif/mati.
Menurut Anonimus (2005) ovulasi adalah puncak dari kematangan gonad, dimana telur yang telah masak harus dikeluarkan dengan cara dipijit pada bagian perut (streeping). Induk jantan diambil spermanya melalui pembedahan. Pencampuran telur dan sperma dilakukan dengan menggunakan bulu ayam sampai sperma dan telur tercampur merata. Untuk meningkatkan pembuahan, maka telur dan sperma dapat ditambahkan dengan garam dapur sebanyak 4000 ppm sambil diaduk dan ditambahkan air sedikit demi sedikit. Setelah tercampur kemudian dilakukan pembersihan dengan penggantian air sebanyak (2-3) kali. Telur yang dibuahi akan mengalami pengembangan dengan ukuran telur yang terlihat lebih besar dan berwarna hijau tua, sedangkan telur yang tidak dibuahi berwarna putih.

Penetasan Telur
Penetasan telur dilakukan pada hapa berukuran (2×1x0,2) m3 yang dipasang pada bak fiber persegi panjang berukuran (4×2x0,8) m3 yang sebelumnya telah diisi air setinggi 50 cm. Kemudian hapa diberi pemberat berupa besi behel ukuran 5 mm, berbentuk persegi panjang seperti dasar hapa. Hapa penetasan dialiri air secara terus menerus dengan debit air 40 ml/detik, selain itu juga bak penetasan diberi aerasi sebagai penyuplai oksigen.
Sebelum telur ditebar, terlebih dahulu dilakukan pencucian telur dari sisa sperma, dan diambil beberapa butir telur untuk dijadikan sample penghitungan telur yang tidak dibuahi, telur yang dibuahi tapi rusak, serta daya tetas telur (HR) sebanyak 723 butir dalam wadah sampling yang terpisah. Telur ditebar secara merata di dalam 4 hapa dengan padat tebar sekitar 156.818 butir/hapa dan menetas sekitar (30–36) jam setelah pembuahan pada suhu (23–24)oC.
Selama masa inkubasi, kondisi telur terus diamati. Pengamatan dilakukan untuk melihat telur yang tidak dibuahi, telur yang dibuahi tapi rusak, dan daya tetas telur (HR). Untuk mengetahui kondisi telur yang tidak dibuahi dapat diketahui pada jam ke-8 setelah penebaran telur, kondisi itu dapat diketahui dengan melihat warna telur yang berubah menjadi putih. Sedang untuk mengetahui kondisi telur yang dibuahi tapi kemudian rusak/gagal dapat diketahui setelah telur menetas.
Menurut Susanto (1989), penetasan telur dilakukan di dalam bak fiber yang berukuran (2×1x0,3) m3 dan ketinggian air sekitar (30 – 40) cm. Biasanya telur – telur akan menetas selama (1 – 2) hari setelah pemijahan pada suhu (25-30)0C. Kondisi air yang hangat akan semakin meningkatkan daya tetas telur (>90%). Dari hasil pengamatan sample selama PKL sebanyak 723 butir diketahui telur yang tidak tidak dibuahi sebanyak 6 butir (0,83%), telur yang dibuahi tapi rusak sebanyak 11 butir (1,52%), dan telur yang berhasil menetas sebanyak 706 butir (97,65%). Total keseluruhan telur yang menetas adalah sebanyak 612.532 butir. Dari hasil sample yang ada menunjukkan bahwa, walaupun pada suhu di bawah 250C (23-24)0C jika ditunjang dengan kualitas induk dan telur yang baik maka HR yang dihasilkan dapat maksimal.

Pemeliharaan Larva
Telur lele sangkuriang akan menetas sekitar (30 – 36) jam setelah pembuahan pada suhu (23 – 24)oC. Pemeliharaan larva pasca penetasan telur dilakukan pada hapa penetasan telur yang dialiri air dan dilengkapi dengan aerasi yang tidak terlalu kencang agar larva tidak teraduk. Pemeliharaan larva dalam happa dilakukan selama (4-5) hari tanpa diberi pakan, karena larva pada saat itu masih memanfaatkan kuning telur yang ada dalam tubuh larva itu sendiri.
Memasuki hari ke-5 dan seterusnya kuning telur dalam tubuh larva telah habis, larva selanjutnya dipindahkan ke dalam bak fiber untuk dipelihara lebih lanjut. Pemeliharan larva dalam bak fiber dilakukan sejak ikan memasuki umur 5 hari hingga 21 hari. Larva dipelihara dalam bak fiber berukuran 4 m x 2 m x 0,8 m dan diisi air sebanyak 1/2 dari tinggi bak dengan padat tebar 15.625 ekor/ m3. Jadi jumlah penebaran larva dalam bak fiber sebanyak 100.000 ekor.
Selama dalam pemeliharaan di dalam fiber, larva umur 5 hari diberi pakan cacing sutra (tubifex sp). Sebelum diberikan, cacing sutra tersebut dicincang terlebih dahulu. Hal itu dilakukan karena ukuran bukaan mulut ikan yang masih kecil. Pemberian cacing sutra cincang diberikan hingga larva berumur 12 hari. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 50 gr setiap kali pemberian pakan pada pagi dan sore hari. Setelah ikan berumur lebih dari 12 hari selanjutnya larva ikan diberi pakan cacing sutra utuh dengan jumlah pakan sebanyak 75 gr setiap kali pemberian pakan pada pagi dan sore hari. Pemberian pakan, selama masa pemeliharaan larva lele sangkuriang diberikan pakan alami dan pakan tambahan. Menurut Mujiman (2000), Pemberian pakan alami disesuaikan dengan ukuran benih. Biasanya efektivitas pertumbuhan benih yang memakan plankton alami berkisar (2–3) minggu sejak ditebar ke kolam. Pakan tambahan diberikan dengan dosis 3% – 5% dari bobot populasi ikan dan diberikan dua sampai tiga kali sehari, pemberiannya dimulai sejak hari kedua setelah benih ditebar.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup larva, maka lingkungan yang baik harus tetap terjaga. Menurut Lukito (2002), dalam kegiatan pengontrolan kualitas air meliputi pergantian air dengan pengaturan volume air dan penyiponan. Pengelolaan kualitas air selama PKL, dilakukan dengan melakukan penyifonan bak pemeliharaan larva setiap pagi hari sebelum pemberian pakan dan penggantian air sebanyak 50%. Penyifonan dilakukan untuk membersihkan sisa-sisa pakan dan kotoran yang terdapat di dasar bak pemeliharaan larva. Sedangkan untuk menambah oksigen terlarut dalam bak pemeliharaan larva, air dalam bak pemeliharaan diberikan aerasi secara terus menerus.
Selama pemeliharaan larva dalam bak fiber tidak memperlihatkan gejala-gejala bahwa ikan terserang hama penyakit. Jika dilihat dari gerakannya yang normal dan nafsu makan yang relatif tinggi menandakan kondisi ikan sehat dan normal. Meskipun kondisi ikan dalam kondisi yang baik, selama dalam pemeliharaan, larva ikan lele sangkuriang tetap diberikan perawatan sebagai upaya pengendalian hama penyakit untuk pencegahan. Menurut Lukito (2004), kegiatan pengendalian hama penyakit meliputi pencegahan dan pengobatan. Tindakan pencegahan yang dilakukan selama PKL yaitu dengan memberikan garam sebanyak 3 kg dalam 3,2 m3 air (1 ppt).

Panen
Larva yang telah berumur 21 hari warna tubuhnya tampak kehitaman dan sudah menyebar dipermukaan air, hal ini menandakan bahwa larva siap dipanen untuk langsung dijual atau ditebar ke kolam pendederan yang sudah disiapkan sebelumnya. Pemanenan larva didahului dengan menutup saluran pemasukan air dan membuka outlet. Kemudian pada pipa outlet dipasang seser halus untuk menampung benih. Menurut Prihartono dkk (2000), larva lele sangkuriang umur satu minggu telah siap untuk dipanen. Selama kegiatan pemanenan perlu adanya perlakuan tertentu karena lele sangkuriang merupakan jenis ikan yang tidak bersisik, tetapi tubuhnya berlendir. Oleh karena tidak bersisik maka tubuhnya sangat mudah mengalami lecet dan luka. Lecet atau luka pada lele sangkuriang dapat disebabkan oleh penggunaan peralatan yang sembarangan, cara panen yang kurang baik dan waktu panen yang kurang tepat.
Hasil sampling bahwa larva lele sangkuriang umur 21 hari kepadatan per mili liternya yaitu 150 ekor atau 15.000 ekor per 100 ml, sedangkan larva yang dipanen sebanyak 5 gelas. Sehingga total larva yang dipanen sebanyak 75.000 ekor (SR 75%). Larva diangkat atau dipindahkan dengan menggunakan beker glass berukuran 100 ml ke dalam baskom penampungan atau langsung dipacking ke dalam kantong plastik berukuran 40 cm x 60 cm dua rangkap dan telah diisi air sebanyak (4 – 6) liter, kemudian diberi oksigen sebanyak 2/3 dan diikat dengan menggunakan karet gelang. Kepadatan larva per kantong tergantung jarak pengangkutan atau permintaan dari pembeli. Tapi biasanya berkisar antara (15.000 – 30.000) ekor larva dalam setiap kantong. Setelah packing, benih siap dikirim ke tempat yang dituju.


Induk ikan lele SANGKURIANG yang akan digunakan dalam kegiatan proses produksi harus tidak berasal dari satu keturunan dan memiliki karakteristik kualitatif dan kuantitatif yang baik berdasarkan pada morfologi, fekunditas, daya tetas telur, pertumbuhan dan sintasannya. Karakteristik tersebut dapat diperoleh ketika dilakukan kegiatan produksi induk dengan proses seleksi yang ketat.
Persyaratan reproduksi induk betina ikan lele SANGKURIANG antara lain: umur minimal dipijahkan 1 tahun, berat 0,70 – 1,0 kg dan panjang standar 25 – 30 cm. Sedangkan induk jantan antara lain: umur 1 tahun, berat 0,5 – 0,75 kg dan panjang standar 30 – 35 cm.
Induk betina yang siap dipijahkan adalah induk yang sudah matang gonad. Secara fisik, hal ini ditandai dengan perut yang membesar dan lembek. Secara praktis hal ini dapat diamati dengan cara meletakkan induk pada lantai yang rata dan dengan perabaan pada bagian perut. Sedangkan induk jantan ditandai dengan warna alat kelamin yang berwarna kemerahan.
Jumlah induk jantan dan induk betina tergantung pada rencana produksi dan sistem pemijahan yang digunakan. Pada sistem pemijahan buatan diperlukan banyak jantan sedangkan pada pemijahan alami dan semi alami jumlah jantan dan betina dapat berimbang. Induk lele SANGKURIANG sebaiknya dipelihara secara terpisah dalam kolam tanah atau bak tembok dengan padat tabr 5 ekor/m2 dapat dengan air mengalir ataupun air diam. Pakan yang diberikan berupa pakan komersial dengan kandungan protein diatas 25% dengan jumlah pakan sebanyak 2 – 3 % dari bobot biomasa dan frekuensi pemberian 3 kali per hari.

Pemijahan dan Pemeliharaan Larva
Pemijahan ikan lele SANGKURIANG dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: pemijahan alami (natural spawning), pemijahan semi alami (induced spawning) dan pemijahan buatan (induced/artificial breeding). Pemijahan alami dilakukan dengan cara memilih induk jantan dan betina yang benar-benar matang gonad kemudian dipijahkan secara alami di bak/wadah pemijahan dengan pemberian kakaban. Pemijahan semi alami dilakukan dengan cara merangsang induk betina dengan penyuntikan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara alami. Pemijahan buatan dilakukan dengan cara merangsang induk betina dengan penyuntikan hormon perangsang kemudian dipijahkan secara buatan.
Pemijahan alami dan semi alami menggunakan induk betina dan jantan dengan perbandingan 1 : 1 baik jumlah ataupun berat. Bila induk betina atau jantan lebih berat dibanding lawannya, dapat digunakan perbandingan jumlah 1 : 2 yang dilakukan secara bertahap. Misalnya, induk betina berat 2 kg/ekor dapat dipasangkan dengan 2 ekor induk jantan berat 1 kg/ekor. Pada saat pemijahan, dipasangkan induk betina dan jantan masing-masing 1 ekor. Setelah sekitar setengah telur keluar atau induk jantan sudah kelelahan, dilakukan penggantian induk jantan dengan induk yang baru. Wadah pemijahan dapat berupa bak plastik atau tembok dengan ukuran 2 x 1 m dengan ketinggian air 15 – 25 cm. Kakaban untuk meletakkan telur disimpan di dasar kolam.
Pemijahan buatan menggunakan induk betina dan jantan dengan perbandingan berat 3 : 0,7 (telur dari 3 kg induk betina dapat dibuahi dengan sperma dari jantan berat 0,7 kg).
Pemijahan semi alami dan buatan dilakukan dengan melakukan penyuntikan terhadap induk betina menggunakan ekstrak pituitari/hipofisa atau hormon perangsang (misalnya ovaprim, ovatide, LHRH atau yang lainnya). Ekstrak hipofisa dapat berasal dari ikan lele atau ikan mas sebagai donor. Penyuntikan dengan ekstrak hipofisa dilakukan dengan dosis 1 kg donor/kg induk (bila menggunakan donor ikan lele) atau 2 kg donor/kg induk (bila menggunakan donor ikan mas). Penyuntikan menggunakan ovaprim atau ovatide dilakukan dengan dosis 0,2 ml/kg induk.
Penyuntikan dilakukan satu kali secara intra muscular yaitu pada bagian punggung ikan. Rentang waktu antara penyuntikan dengan ovulasi telur 10 – 14 jam tergantung pada suhu inkubasi induk.

Prosedur pemijahan buatan meliputi;
ü      Pemeriksaan ovulasi telur pada induk betina,
ü      Pengambilan kantung sperma pada ikan jantan,
ü      Pengenceran sperma pada larutan fisiologis (NaCl 0,9%) dengan perbandingan 1 : 50 – 100,
ü      Pengurutan induk betina untuk mengeluarkan telur,
ü      Pencampuran telur dan sperma secara merata untuk meningkatkan pembuahan (fertilisasi),
ü      Penebaran telur yang sudah terbuahi secara merata pada hapa penetasan.

Penetasan telur sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir untuk menjamin ketersediaan oksigen terlarut dan penggantian air yang kotor akibat pembusukan telur yang tidak terbuahi. Peningkatan kandungan oksigen terlarut dapat pula diupayakan dengan pemberian aerasi.
Telur lele SANGKURIANG menetas 30 – 36 jam setelah pembuahan pada suhu 22 – 25 oC. Larva lele yang baru menetas memiliki cadangan makanan berupa kantung telur (yolksack) yang akan diserap sebagai sumber makanan bagi larva sehingga tidak perlu diberi pakan. Penetasan telur dan penyerapan yolksack akan lebih cepat terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Pemeliharaan larva dilakukan dalam hapa penetasan. Pakan dapat mulai diberikan setelah larva umur 4 – 5 hari atau ketika larva sudah dapat berenang dan berwarna hitam.

Pendederan I dan Pendederan II
Benih ikan lele dapat dipelihara dalam bak plastik, bak tembok atau kolam pendederan. Pakan yang diberikan berupa cacing Tubifex, Daphnia, Moina atau pakan buatan dengan dosis 10 – 15% bobot biomass.

KOLAM UNTUK PENDEDERAN
1.      Bentuk kolam pada minggu 1-2, lebar 50 cm, panjang 200 cm, dantinggi 50 cm. Dinding kolam dibuat tegak lurus, halus, dan licin,sehingga apabila bergesekan dengan tubuh benih lele tidak akanmelukai. Permukaan lantai agak miring menuju pembuangan air.Kemiringan dibuat beda 3 cm di antara kedua ujung lantai, di mana yangdekat tempat pemasukan air lebih tinggi. Pada lantai dipasang pralondengan diameter 3-5 cm dan panjang 10 m.
2.      Kira-kira 10 cm dari pengeluaran air dipasang saringan yang dijepitdengan 2 bingkai kayu tepat dengan permukaan dalam dinding kolam. Diantara 2 bingkai dipasang selembar kasa nyamuk dari bahan plastikberukuran mess 0,5-0,7 mm, kemudian dipaku.
3.      Setiap kolam pendederan dipasang pipa pemasukan dan pipa air untukmengeringkan kolam. Pipa pengeluaran dihubungkan dengan pipa plastikyang dapat berfungsi untuk mengatur ketinggian air kolam. Pipa plastiktersebut dikaitkan dengan suatu pengait sebagai gantungan.
4.      Minggu ketiga, benih dipindahkan ke kolam pendederan yang lain.Pengambilannya tidak boleh menggunakan jaring, tetapi dengan mengaturketinggian pipa plastik.
5.      Kolam pendederan yang baru berukuran 100 x 200 x 50 cm, denganbentuk dan konstruksi sama dengan yang sebelumnya.

PENJARANGAN
Penjarangan adalah mengurangi padat penebaran yang dilakukan karena ikan lele berkembang ke arah lebih besar, sehingga volume ratio antara lele dengan kolam tidak seimbang.
ü      Apabila tidak dilakukan penjarangan dapat mengakibatkan:
o        Ikan berdesakan, sehingga tubuhnya akan luka.
o        Terjadi perebutan ransum makanan dan suatu saat dapat memicumumculnya kanibalisme (ikan yang lebih kecil dimakan oleh ikan yang lebih besar).
o        Suasana kolam tidak sehat oleh menumpuknya CO2 dan NH3, dan O2kurang sekali sehingga pertumbuhan ikan lele terhambat.
ü      Cara penjarangan pada benih ikan lele :
o        Minggu 1-2, kepadatan tebar 5000 ekor/m2
o        Minggu 3-4, kepadatan tebar 1125 ekor/m2
o        Minggu 5-6, kepadatan tebar 525 ekor/m2
PEMBERIAN PAKAN
1.      Hari pertama sampai ketiga, benih lele mendapat makanan darikantong kuning telur (yolk sac) yang dibawa sejak menetas.
2.      Hari keempat sampai minggu kedua diberi makan zooplankton, yaitu Daphnia dan Artemia yang mempunyai protein 60%. Makanan tersebutdiberikan dengan dosis 70% x biomassa setiap hari yang dibagi dalam 4kali pemberian. Makanan ditebar disekitar tempat pemasukan air.Kira-kira 2-3 hari sebelum pemberian pakan zooplankton berakhir,benih lele harus dikenalkan dengan makanan dalam bentuk tepung yangberkadar protein 50%. Sedikit dari tepung tersebut diberikan kepadabenih 10-15 menit sebelum pemberian zooplankton. Makanan yang berupa tepung dapat terbuat dari campuran kuning telur, tepung udang dansedikit bubur nestum.
3.      Minggu ketiga diberi pakan sebanyak 43% x biomassa setiap hari.
4.      Minggu keempat dan kelima diberi pakan sebanyak 32% x biomassasetiap hari.
5.      Minggu kelima diberi pakan sebanyak 21% x biomassa setiap hari.
6.      Minggu ketiga diberi pakan sebanyak 43% x biomassa setiap hari.
7.      Minggu keenam sudah bisa dicoba dengan pemberian pelet apung.

KOLAM UNTUK PENDEDERAN
1.      Bentuk kolam pada minggu 1-2, lebar 50 cm, panjang 200 cm, dantinggi 50 cm. Dinding kolam dibuat tegak lurus, halus, dan licin,sehingga apabila bergesekan dengan tubuh benih lele tidak akanmelukai. Permukaan lantai agak miring menuju pembuangan air.Kemiringan dibuat beda 3 cm di antara kedua ujung lantai, di mana yangdekat tempat pemasukan air lebih tinggi. Pada lantai dipasang pralondengan diameter 3-5 cm dan panjang 10 m.
2.      Kira-kira 10 cm dari pengeluaran air dipasang saringan yang dijepitdengan 2 bingkai kayu tepat dengan permukaan dalam dinding kolam. Diantara 2 bingkai dipasang selembar kasa nyamuk dari bahan plastikberukuran mess 0,5-0,7 mm, kemudian dipaku.
3.      Setiap kolam pendederan dipasang pipa pemasukan dan pipa air untukmengeringkan kolam. Pipa pengeluaran dihubungkan dengan pipa plastikyang dapat berfungsi untuk mengatur ketinggian air kolam. Pipa plastiktersebut dikaitkan dengan suatu pengait sebagai gantungan.
4.      Minggu ketiga, benih dipindahkan ke kolam pendederan yang lain.Pengambilannya tidak boleh menggunakan jaring, tetapi dengan mengaturketinggian pipa plastik.
5.      Kolam pendederan yang baru berukuran 100 x 200 x 50 cm, denganbentuk dan konstruksi sama dengan yang sebelumnya.

PENJARANGAN
1.      Penjarangan adalah mengurangi padat penebaran yang dilakukan karenaikan lele berkembang ke arah lebih besar, sehingga volume ratio antaralele dengan kolam tidak seimbang.
ü      Apabila tidak dilakukan penjarangan dapat mengakibatkan :
-         Ikan berdesakan, sehingga tubuhnya akan luka.
-         Terjadi perebutan ransum makanan dan suatu saat dapat memicu munculnya kanibalisme (ikan yang lebih kecil dimakan oleh ikan yang lebih besar).
-         Suasana kolam tidak sehat oleh menumpuknya CO2 dan NH3, dan O2 kurang sekali sehingga pertumbuhan ikan lele terhambat.
2.      Cara penjarangan pada benih ikan lele
1.      Minggu 1-2, kepadatan tebar 5000 ekor/m2
2.      Minggu 3-4, kepadatan tebar 1125 ekor/m2
3.      Minggu 5-6, kepadatan tebar 525 ekor/m2
PEMBERIAN PAKAN
Hari pertama sampai ketiga, benih lele mendapat makanan dari kantong kuning telur (yolk sac) yang dibawa sejak menetas.
1.      Hari keempat sampai minggu kedua diberi makan zooplankton, yaitu Daphnia dan Artemia yang mempunyai protein 60%. Makanan tersebut diberikan dengan dosis 70% x biomassa setiap hari yang dibagi dalam 4 kali pemberian. Makanan ditebar disekitar tempat pemasukan air. Kira-kira 2-3 hari sebelum pemberian pakan zooplankton berakhir,
2.      benih lele harus dikenalkan dengan makanan dalam bentuk tepung yang berkadar protein 50%. Sedikit dari tepung tersebut diberikan kepada benih 10-15 menit sebelum pemberian zooplankton. Makanan yang berupa tepung dapat terbuat dari campuran kuning telur, tepung udang dan sedikit bubur nestum.
3.      Minggu ketiga diberi pakan sebanyak 43% x biomassa setiap hari.
4.      Minggu keempat dan kelima diberi pakan sebanyak 32% x biomassa setiap hari.
5.      Minggu kelima diberi pakan sebanyak 21% x biomassa setiap hari.
6.      Minggu ketiga diberi pakan sebanyak 43% x biomassa setiap hari.
7.      Minggu keenam sudah bisa dicoba dengan pemberian pelet apung.

Apa saja yang di perlukan untuk membuat kolam terpal?
1.      Lahan, usahakan lahan yang sedikit rindang, tapi jangan langsung di bawah pohon.
2.      Terpal, berukuran ukuran 4×5, yang saya pakai adalah terpal jenis A3, lebih tebal. Tapi ada juga beberapa kolam sejenis dengan terpal yang lebih tipis. Jadi, saya pikir itu pun bisa dipakai untuk menghemat biaya.
3.      Bambu, diperlukan bambu yang dibelah besar, dengan ukuran 2,2 meter sebanyak kurang lebih 10 belahan, dan ukuran 3,2 meter sebanyak kurang lebih 10 belahan.
4.      Tiang patok, diperlukan kayu yang nantinya bakal tumbuh agar bisa bertahan lama, seperti tanaman Hanjuang atau apa saja yang kuat. Jangan menggunakan bambu karena masa pakainya terbatas.
5.      Paku, digunakan untuk memaku belahan bambu ke patoknya.
6.      Kawat, digunakan untuk mengikat terpal ke patok/bambu.
Cara pembuatan :
Setelah semua bahan tersedia, terlebih dulu ratakan tanah yang akan di pakai untuk mendirikan kolam terpal, jangan sampai ada benda tajam di atasnya. Lalu dirikanlah patok di empat sudut berbeda dengan ukuran panjang 3 meter dan lebar 2 meter. Kemudian pasang belahan bambu 2,2 m untuk lebarnya dengan menggunakan paku, dan belahan bambu 3,2 m untuk panjangnya, pasang agak merapat agar rangka kolam kuat, setelah semua terpasang, maka terpal dapat dipasang membentuk segi empat di dalam rangka tersebut. Ujung terpal diikat kuat-kuat dengan kawat ke patok. Karena nantinya terpal akan diisi air, maka pastikan rangka kolam terpasang dengan kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar